My style

My style

Minggu, 27 November 2011

Bakteri dan Jenis enzim yang dihasilkan


dari berbagai sumber <<<bernhardl.m.sitorus blog.b

I.                   PENDAHULUAN

Enzim adalah molekul protein yang dihasilkan oleh setiap sel hidup. Semua reaksi kehidupan hanya bisa dimungkinkan oleh adanya enzim. Reaksi-reaksi biokimia di dalam sel tidak mungkin terjadi secara tepat dan cepat seperti yang dikehendaki pada keadaan alamiahnya tanpa adanya biokatalisator enzim yang bekerja dengan efisiensi dan selektifitas tinggi. Enzim merupakan protein katalis. Setelah disintesis dalam sel, enzim dapat berfungsi secara independen pada sel dalam kondisi ideal yang dipertahankan.
Menurut International University of Biochemistry, enzim terbagi menjadi enam golongan, yaitu oksireduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerasi dan ligase. Enzim bukan hanya terdiri dari protein (apoenzim) tetapi juga komponen lain yang mengandung logam sebagai koenzim. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai factor seperti pH, suhu, pelarut, kekuatan ion dan adanya inhibitor atau activator.
Teknologi enzim meliputi proses produksi, isolasi dan pemurnian enzim. Enzim secara komersial umumnya didapat dari tanaman, hewan dan mikroba.   Kebanyakan enzim didapat dari mikroba (fungi dan bakteri). Strain mutan yang telah diseleksi kemudian diproduksi secara maksimal. Rekayasa genetik telah menjadi pionir dalam pengadaan organisme untuk sintesis enzim.
Lebih dari 2000 enzim telah diisolasi hingga kini namun sampai saat ini hanya sejumlah enzim yang telah diproduksi secara besar-besaran. Kebanyakan enzim yang diproduksi secara komersial adalah golongan enzim hidrolase seperti amylase, selulase, pektinase, dan peptidase.
Enzim komersial digunakan oleh berbagai kelompok industri baik industri pangan maupun industri non pangan. Para ahli enzim pangan menggunakan berbagai enzim untuk memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia pangan dan memunculkan atau memanfaatkan sumber pangan baru. Berikut ini adalah sejumlah enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme beserta sumber dan aplikasinya dalam industri pangan.


Tabel 1. Enzim dan sumber serta aplikasinya bagi pangan.
Enzim
Sumber
Aplikasi
Amilase
Aspergillus niger
A. oryzae
Bacillus subtilis
Rhizophus sp
Mucor rouxii
Industri roti, bir, sirup, makanan lainnya.
Selulase
A. niger
Trichoderma viridae
Industri konsentrat kopi
Dekstransukrase
Leuconostoc mesenteroides
Berbagai kegunaan destran dalam industri pangan
Glucose oksidase
A. niger
Penghilangan glukosa dari telur (industri telur)
Invertase
Saccharomyces cerevisiae
Madu tiruan cegah pengkristalan permen
Lactase
S. fragilis
Industri susu (hidrolisis laktosa)
Lipase
A. niger
Mucor sp
Rhizopus sp
Pembentukan cita rasa pada keju

Pektinase
A. niger
Penicillium sp
Rhizopus sp
Penjernihan anggur dan sari buah
Protease (Proteinase)
A. oryzae
Mencegah pengendapan protein dalam industri bir
B. subtilis
Mucor sp
Rhizopus sp
Industri roti, pengepukan daging
Renin mikrobial
Mucor nihei
M pusillus
Penggumpalan susu (industri keju)
Sumber: Diktat Kuliah Bioteknologi Pangan Terapan (2006)

Enzim yang diperoleh dari mikroba didapatkan dengan melalui serangkaian proses panjang. Menurut Sumanti, Debby., dkk (2006), prosedur pembuatan enzim yang berasal dari mikroba terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Seleksi
Seleksi dapat didefinisikan sebagai penggunaan prosedur dengan selektivitas yang tinggi untuk mendeteksi dan mengisolasi mikroorganisme yang diinginkan diantara sekian banyak populasi mikroorganisme. Seleksi dilakukan dalam dua tahap yaitu seleksi primer dan seleksi sekunder.
Melalui seleksi primer, diperoleh beberapa mikroorganisme, tetapi mungkin hanya sedikit sekali diantara mikroorganisme tersebut yang mempunyai nilai komersial karena seleksi primer hanya menentukan mikroorganisme apa saja yang dapat menghasilkan suatu produk dan belum memperhatikan kemampuannya untuk bereproduksi.
Seleksi sekunder merupakan tahap seleksi lebih lanjut dimana mikroorganisme hasil seleksi primer yang tidak mempunyai potensi untuk digunakan dalam proses industri atau dengan kata lain disingkarkan. Seleksi sekunder dapat dilakukan pada agar cawan dalam labu erlenmeyer atau dalam fermentor berukuran kecil yang berisi substrat cair. Seleksi sekunder meliputi seleksi dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Melalui pendekatan kualitatif dapat diperoleh informasi mengenai spektrum mikroorganisme yang sensitif terhadap produk yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme. Melalui pendekatan kuantitatif dapat diperoleh informasi mengenai konsentrasi produk yang dapat dihasilkan oleh suatu mikroorganisme bersangkutan apabila ditumbuhkan pada berbagai substrat.

  1. Isolasi
Isolasi suatu strain murni pada prinsipnya dapat dilakukan secara bertingkat. Tingkat pertama bisa dilakukan secara manual yaitu dengan cara mengencerkannya. Tingkat kedua adalah dengan isolasi dengan media yang bersifat selektif bagi mikroorganisme tertentu yang mungkin masih satu golongan. Tingkat ketiga dari koloni yang seolah-olah sudah murni mungkin masih perlu diencerkan kembali atau diisolasi ulang agar tingkat kemurniannya dapat lebih meyakinkan. Untuk selanjutnya diperlukan berbagai metode karakterisasi sebagai pembuktian bahwa galur isolat yang diperoleh benar-benar galur murni. Cara bertingkat tersebut adalah cara konvensional yang sampai kini masih banyak dilakukan.
Cara isolasi yang modern adalah menggunakan alat canggih yaitu dengan alat mikromanipulator. Alat ini terdiri dari alat manipulator yang dapat dilihat dari suatu mikroskop. Cara lain yang sering dilakukan adalah menggunakan kultur khusus artinya media khusus yang bersifat memberi kemudahan bagi tumbuhnya jenis mikroorganisme tertentu yang dikehendaki saja dan dapat menghalangi tumbuhnya mikroorganisme jenis lain yang tidak dikehendaki. Tetapi cara ini masih memungkinkan tumbuhnya jenis yang lain dengan sifat hampir bersamaan,  jadi akan lebih baik bila dilanjutkan dengan pengenceran sehingga hasilnya akan lebih meyakinkan terutama dalam hal kemurniannya. Cara ini disebut pula sebagai cara kultur ”enrichment culture”.

  1. Pemurnian enzim
Pemurnian enzim terdiri dari beberapa tahap, diantaranya adalah; pemisahan enzim dari substrat (bisa dengan cara disentrifugasi) kemudian tahap ekstraksi enzim. Setelah enzim dipisahkan dari substrat dan mikroba, maka selanjutnya dilakukan beberapa tahapan sesuai dengan produk akhir yang akan dihasilkan.
Jika produk akhir yang ingin dihasilkan adalah produk kering maka proses yang dilakukan adalah pengeringan. Jika produk yang ingin dihasilkan adalah produk cair maka proses yang dilakukan adalah evaporasi, filtrasi ataupun osmosis. Apabila produk yang ingin dihasilkan adalah produk terfraksionasi maka proses yang dilakukan adalah kromatografi, elektroforesis ataupun pengendapan bertahap. Apabila produk yang ingin dihasilkan adalah produk kering standar maka proses yang dilakukan adalah pengendapan aseton, spray dryer, atau freeze dryer. Proses terakhir dari produksi enzim adalah proses penyimpanan.
            Penggunaan enzim secara luas ternyata menimbulkan sebuah masalah yaitu bagaimana cara me-recover enzim untuk digunakan kembali. Enzim umumnya sangat mahal untuk diproduksi dan diekstrak. Maka, jawaban dari permasalahan tersebut adalah dengan penggunaan teknologi immobilisasi enzim dan sel.









II.                IMMOBILISASI ENZIM

2.1.  Pengertian dan Prosedur Pembuatan Immobilisasi Enzim
Immobilisasi enzim adalah suatu enzim yang secara fisik maupun kimia tidak bebas bergerak sehingga dapat dikendalikan atau diatur kapan enzim harus kontak dengan substrat. Aplikasi enzim menjadi lebih luas lagi dengan penemuan dan pengembangan teknologi Immobilisasi enzim yang terbukti daya tahan enzim dan efisiensi penggunaannya. Immobilisasi enzim didapat dengan dua cara, yaitu; cara fisik dan cara kimia.
  1. Cara Fisik
Immobilisasi cara fisik adalah Immobilisasi enzim yang tidak melibatkan pembentukan ikatan kovalen. Immobilisasi cara fisik sifatnya reversible yaitu enzim dapat kembali ke keadaan aslinya.
Contoh :
-          Enzim diabsorbsi dalam suatu matriks (disebut juga ad)


Gambar 1: Absorbsi Di Atas Permukaan Tak Larut
Sumber: Murray  (1997)

-          Enzim diperangkap dalam suatu gel (disebut juga le = lattice entrapped). Immobilisasi sel (mikroorganisme, tanaman/hewan).
Gambar 2: Enzim yang Diperangkap Dalam Suatu Gel
Sumber: Murray (1997)

Pada immobilisasi cara fisika, Enzim dapat dimasukkan dalam suatu kapsul mikro atau dimasukkan ke dalam kapsul semi permeabel.


  1. Cara Kimia 
Immobilisasi cara kimia adalah Immobilisasi yang melibatkan paling sedikit satu ikatan kovalen antara residu, melibatkan dua atau lebih enzim yang sejenis. Immobilisasi cara kimia sifatnya irreversible (tidak dapat kembali ke bentuk aslinya).
Contoh:
-          ikatan kovalen (disebut juga Co)
-          ikatan silang/cross linked (disebut juga Cr)
Matriks yang dapat digunakan untuk immobilisasi dengan sistem ikatan adalah:
  1. Polisakarida tidak larut (selulosa dan dekstran)
  2. Protein (gelatin dan albumin)
  3. Polimer sintesis resion ion exchange
  4. Bahan organik (gelas berpori, silika)

Gambar 3: Ikatan Kovalen Pada Kolagen
Sumber: Murray (1997)

Gambar 4: Ikatan Cross Linking
Sumber: Murray (1997)

Reaktor untuk enzim/sel immobilisasi
  1. Reaktor dengan pengadukan
-          sistem batch
-          sistem kontinyu
Gambar 5: Reaktor Sistem Batch
Sumber: Sumarsih (2008)


Gambar 6. Reaktor Sistem Kontinu
Sumber: Sumarsih (2008)


  1. Fluidized Bed
Dalam sistem reaktor ini, enzim/sel immobil mengalir dari bawah ke atas dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk partikel dapat bergerak bebas. Sistem ini bersifat semi kontinyu sebab substrat dapat dikembalikan lagi ke dalam reaktor beberapa kali untuk mendapatkan produk yang diinginkan.

  1. Kolom
Kolom ”Plug-Flow” merupakan reaktor yang digunakan untuk substrat yang viskositasnya rendah dan kelarutannya tinggi untuk mencegah penyumbatan.


2.2.  Immobilisasi sel
Immobilisasi sel umumnya lebih praktis dibandingkan dengan immobilisasi enzim, karena tidak diperlukan tahap-tahap ekstraksi, isolasi dan pemurnian enzim dimana biayanya sangat mahal. Immobilisasi sel mikroba dibedakan atas 3 macam:
  1. Sel mati           :    untuk reaksi konversi sederhana (1 tahap)
  2. Sel hidup         : untuk reaksi konversi yang melibatkan biokatalis heterogen (multi enzim)/memerlukan ATP atau biokoenzim seperti NADP atau koenzim A.
  3. Sel dalam fase pertumbuhan   : keadaan dimana terdapat aktivitas enzim untuk pertumbuhan.





















III.             IMMOBILISASI ENZIM DALAM PERMUKAAN SEL KHAMIR

3.1.  Immobilisasi Pada Permukaan Sel
Menurut Ueda, et.al., immobilisasi enzim metode konvensional yaitu dengan cara ikatan kovalen memiliki beberapa kelebihan, enzim yang diimmobilisasi melalui ikatan yang kuat dan pemisahan enzim dari substrat cukup mudah. Hanya saja perubahan struktur pada protein immobilisasi atau perubahan karakteristiknya sering terjadi dan banyak kesulitan yang dihadapi dalam penentuan kondisi reaksi immobilisasi secara konvensional. Immobilisasi melalui melalui ikatan ionik tidak dapat mengatasi kekurangan tersebut walau enzim mudah untuk dipisahkan.
Metode rekayasa genetic dikombinasikan dengan metode immobilisasi dengan menggunakan permukaan sel sebagai pembawa immobilisasi enzim dapat menjadi solusi dalam masalah yang dihadapi pada metode immobilisasi konvensional. Immobilisasi enzim pada permukaan sel menjaga dari kejenuhan proses pemurnian enzim yang biasa dilakukan pada immobilisasi enzim.
Protein yang berada dalam permukaan sel Saccharomyces cerevisiae memberikan banyak kegunaan daripada sel mikroba yang lainnya.. Alasannya adalah; pertama khamir tersebut sudah digunakan secara luas dalam industri protein dan bahan kimia, enzim yang dibungkus dalam sel khamir dapat digunakan sebagai biokatalis sel karena permukaan protein yang diimobilisasi diikat secara kovalen pada glukan dalam dinding sel serta tahan terhadap ekstraksi. Kedua, S. cerevisiae umumnya termasuk ke dalam bahan yang aman digunakan untuk dikonsumsi (GRAS), khamir ini dapat digunakan dalam industri pangan dan obat-obatan.

3.2.  Prinsip dari Immobilisasi Enzim Secara Genetic Pada Permukaan Sel Khamir
Untuk mengimmobilisasi protein dalam permukaan sel dari S. cerevisiae digunakan informasi molekuler dari dinding sel asli-protein yang tertempel yaitu α-agglutinin. α-Agglutinin adalah mannoprotein yang termasuk dalam adesi seksual tipe pasangan  α- pada sel S. cerevisiae dengan  tipe  pasangan  a- pada sel S. cerevisiae.
α-Agglutinin memiliki gycosylphospatidylinositol (GPI) yang menjadi sinyal pengait yang termasuk dalam protein dinding sel yang menempel. Sinyal yang menempel ini telah dikombinasi oleh sinyal dari sekresi enzim dengan menggunakan teknik rekayasa genetic. Gambar 7 menunjukkan struktur umum dari gen pada permukaan sel immobilisasi enzim. 3’-setengah dari α-Agglutinin mengandung GPI yang menempelkan sinyal pengikat pada C- terminal akhir seperti protein permukaan sel lainnya.












Gambar 7. Struktur Umum Dari Gen Pada Permukaan Sel Immobilisasi Enzim
Sumber: Ueda, Mitsuyoshi., et al (           )

3.3.  Immobilisasi Genetis Dari Enzim Amilolitik Pada Permukaan Sel Khamir
Walaupun material yang dibutuhkan telah tersedia melimpah tetapi S. cerevisiae tidak dapat digunakan pada pati. Sejumlah cara telah dicoba untuk pembentukan sistem penggunaan sel pada pati diantaranya dengan penambahan enzim amilolitik dalam kultur broth dan pengenalan gen yang hetergogen, mengkode enzim amilolitik kedalam sel khamir untuk produksi enzim secara sekresi.
Salah satu strateginya adalah memakai glukoamilase (EC. 3.2.1.3) yang berasal dari Rhizophus oryzae yang merupakan enzim amilolotik tipe ekso yang memotong ikatan α-1,4- dan α-1,6- secara efektif ataupun α-amilase (EC 3.2.1.1) yang berasal dari Bacillus stereothermophilus yang berupakan enzim amilolitik tipe endo yang memotong ikatan α-1,4-. Strain immobilisasi enzim glukoamilase atau  α-amilase yang terbentuk dapat digunakan untuk sakarifikasi pati yang ada pada dinding selnya dan mengasimilasi penguraian glukosa untuk pembiakan dan peragian.

3.4.  Prosedur Immobilisasi Enzim Glukoamilase (salah satu enzim amilolotik) Pada Permukaan Sel Khamir
Immobilisasi enzim glukoamilase pada permukaan sel khamir menggunakan plasmid. Plasmid yang digunakan diberi nama dengan plasmid pGA11. Plasmid pGA11 telah dibentuk sebagai plasmid multi kopi untuk menandai pembelahan gen glukoamilase/ α-Agglutinin mengandung serangkaian sinyal sekresi dari glukoamilase dibawah kontrol GADPH promoter. Plasmid pGA 11 dibentuk seperti pada gambar 8; daerah Xho1 telah digenerasikan pada bagian akhir daerah pengkodean glukoamilase yang ada pada plasmid pYGA2270  melalui daerah mutagenesis yang bersangkutan dengan bagian primer yaitu 5’-GCATTCGCCGCTGGCTCGAGAAATTTAAATGC-’3 dan 5’-CTGTGACTGGTGACGCGTCAACCAAGTC-3’ sebagai mutasi dan seleksi primer berturut-turut.
Fragmen DNA yang mengandung daerah pengkodean glukoamilase, diisolasi dari plasmid mutagen melalui EcoRI – XhnI digestion. Fragmen DNA dari  gen α-Agglutinin mengandung 3’-setengah dari daerah pengkodean yang mengkode 320 asam amino dari α-Agglutinin dan 446 bp dari 3’-daerah sisi yang telah disiapkan oleh PCR (primer, 5’-GTACCTCGAGCGCCAAAAGCTCTTTTATC-3’ dan 5’-GCGGTACCTTTGATTATGTTCTTCTTTCTAT-3’) dengan genomik DNA dari S. cerevisiae MT8-1 sebagai cetakannya diikuti digestion oleh XhoI dan KpnI . Ini adalah dua fragmen yang disubstitusi dari bagian EcoRI – Kpn 1 antara  GADPH promoter dan GADPH terminator dari khamir vektor pYE22m.














Gambar 8. Pembentukan Plasmid pGA11
Sumber: Ueda, Mitsuyoshi., et al (           )

3.5.  Deteksi Aktifitas Glukoamilase
Plasmid yang terbentuk, diadaptasi dalam strain S. cerevisae MT8-1 sebagai sel induk. Khamir ditanamkan kembali dalam medium YPD (1% ekstrak khamir, 2% pepton, 2% glukosa). Setelah itu, sel ditanamkan secara aerob pada suhu 300C dalam medium Burkholder’s termodifikasi (mengandung 0,002% adenine sulfat, 0,002% L-Histidin HCl, 0,003% L-Leucine, 0,002% urasil, dan 1% asam casamino) di mana 2% glukosa yang ditambahkan merupakan sumber karbon. Medium kultur dan sel pelet diisolasi melalui sentrifugasi untuk mengukur aktivitas glukoamilase dalam kedua fraksi.
Perkembangan sel dalam kultur broth diukur pada absorbansi 600nm. Untuk pengukuran aktivitas glukoamilase, substrat dipersiapkan dengan menambahkan pati terlarut pada buffer sodium asetat 20mM mendidih pada konsentrasi 0,5%. Setelah itu, 0,9mL larutan dijaga pada 300C selama 5 menit. Tambahkan 0,1 mL larutan enzim dan campuran kemudian diinkubasi pada suhu yang sama selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan cara mendidih campuran selama 10 menit dan konsentrasi glukosa ditentukan menggunakan F-kit untuk glukosa (Boehringer Mannheim, Mannheim, Jerman). Satu unit glukoamilase didefinisikan sebagai sejumlah enzim yang digunakan untuk menguraikan 1μmol glukosa/menit dari pati. Hasil yang didapatkan adalah, sel yang mengandung plasmid pGA11 hanya memiliki sel yang diasosiasi aktivitas glukoamilase tanpa sekresi dari enzim aktif.
Dinding sel S. cerevisae mengandung glukan dan mannoprotein. Glukan tersusun oleh β-1,3- dan β-1,6-glukanase. Lokalisasi dari protein glukoamilase dan asosiasinya dengan dinding sel telah dilakukan. Sel dipanen dengan cara  sentrifugasi sebanyak 3000g dan dicuci dalam cairan buffer dingin. Sel, buffer dan manik-manik kaca dicampur dengan perbandingan 1:2:1 dalam tabung kaca dan diagitasi dengan kuat menggunakan mixer benchtop vortex selama 5 menit pada 00C. Fraksi dinding sel direcoveri dengan alat sentrifugasi dengan cara menghomogenasi sebanyak 1000g selama 5 menit dan dicuci dengan buffer yang sama.
Glukoamilase yang diekstrak dari fraksi tersebut, melalui dua tahap produksi. Pertama, protein yang berikatan secara non kovalen dan ikatan protein melalui jembatan disulfida akan diekstrak dari dinding sel dengan sodium dodecyl sulfat (SDS) panas. Langkah-langkahnya yaitu SDS diberikan kepada dinding sel yang sebelumnya telah diurai dengan laminarinase (β-1,3-glukanase). Untuk mengkualifikasi jumlah SDS terekstrak dan glukanase (protein glukoamilase terekstrak), intensitas sinyal dari tiap fraksi pada filter diukur menggunakan antiglukoamilase IgG dan protein peroksidase horseradish A. Enzim hampir semua terekstrak oleh glukanase.
Aktifitas amilolitik telah dideteksi dengan haloformasi pada plat agar. Sel yang mengandung plasmid pGA11 atau pYE22m sebagai kontrol, diinokulasi pada medium Burkholder’s termodifikasi mengandung 2% glukosa dan 1% pati terlarut. Setelah inkubasi selama 3 hari pada suhu 300C, plat ditandai dengan uap iodine. Sel yang mengandung plasmid pGA11 telah menghidrolisis pati dan telah memproduksi lingkaran terang yang sempurna di sekitar koloni, di mana tidak terbentuk lingkaran terang di sekitar sel yang mengandung plasmid pYE22m.  Hal ini mengindikasi bahwa pembentuk sel telah mendapat sifat aktivitas amilolitik sebagai pertanda pembelahan gen glukoamilase pada permukaan sel.
Untuk mengetahui sifat-sifat enzim, stabilitas panas, suhu optimal dan pH optimal dari glukoamilase yang tertempel pada permukaan sel yaitu dengan dibandingkan dengan sel yang bebas dari sekresi glukoamilase.
Fraksi dinding sel dari sel yang mengandung plasmid pGA11 disuspensikan pada 20mM buffer sodium asetat. Sel yang dijadikan sebagai sumber non glukoamilase diperoleh dari supernatan kultur broth yang ditanamkan dalam medium Brurkholder’s termodifikasi yang mengandung 2% glukosa sebagai sumber karbon pada suhu 300C selama 24 jam. Larutan bebas glukoamilase dipersiapkan dengan dialisasi kultur supernatan dalam 20mM buffer sodium asetat pada 40C. Aktifitas glukoamilase dalam suspensi dinding sel dan supernatan yang didialisis telah diukur. Sifat dari glukoamilase tertempel diuji apakah sama untuk sifat dari free glukoamilase, dari jawaban itu fungsi enzimatis glukoamilase tertempel dapat dibandingkan dengan yang bebas enzim. 
   Enzim glukoamilase hanyalah salah satu contoh dari enzim yang telah diimmobilisasi dengan metode genetik.  Enzim-enzim lain yang telah diimmobilisasi dengan cara ini diantaranya adalah enzim α Amilase, CMCase dan β Glukosidase. Ketiga enzim tersebut juga diimmobilisasi pada permukaan sel khamir S. cerevisiae. Prosedur pembuatan immobilisasi enzim pada permukaan sel tidak hanya dapat menggunakan tetapi juga dapat menggunakan mikroba lainnya, sesuai dengan enzim yang akan diproduksi.






   

    



IV.             PENGGUNAAN IMMOBILISASI ENZIM DALAM INDUSTRI PANGAN

Enzim merupakan komponen yang sangat penting dalam industri pangan karena enzim dapat merombak suatu struktur molekul pangan menjadi molekul lain yang diinginkan tanpa harus ikut berreaksi. Immobilisasi enzim merupakan solusi yang tepat dalam penggunaan enzim pada industri pangan secara hemat dan mudah. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan immobilisasi enzim dalam industri pangan.

  1. Produksi HFS (HFS) menggunakan glukose isomerasi terimmobilisasi
Immobilisasi enzim dibuat dengan metode penyilangan ikatan seluruh material sel dari Streptomyces murinus dengan glutaraldehid yang dilanjutkan dengan ekstrusi. Alat yang digunakan adalah bioreaktor fixed-bed berukuran 1,5m x 5m yang dioperasikan pada suhu 60-650C untuk memproduksi 42% fruktosa isomerase. Lebih dari setengah isosirup dikonversi menjadi 55% fruktosa yang menggunakan teknologi fraksinasi. Selanjutnya, akan dikembangkan menjadi enzim stabil pada panas yang dapat secara langsung diproduksi pada 55% isosirup fruktosa isosirup dengan isomerisasi pada suhu 950C.
     
  1. Produksi sirup whey terhidrolisis menggunakan β-Galaktosidase.
Proses komersial terbaru adalah proses hidrolisis valio yang telah dimulai di Finlandia pada 1980 oleh Valio Ltd. Sebagai biokatalis, Valio IML terdiri dari jamur β-Galaktosidase  (Aspergillus oryzae) yang diserap dan diikat silang pada bahan resin food grade. Produk utama yang dibuat oleh Valio adalah demineralisasi sirup whey yang mengandung 60% padatan dengan 72% hidrolisis laktosa. Sirup whey terhidrolisis tanpa demineralisasi dan dengan 50% demineralisasi juga diproduksi. Bioreaktor yang mengandung  β-Galaktosidase diimmolbilisasi secara kovalen pada silika berpori yang dikembangkan pada gelas Corning dan digunakan secara komersial di Inggris dan Prancis.


  1. Produksi asam amino spesifik.
Asam L-aspartat telah diproduksi dari ammonium fumarat secara komersial di Jepang menggunakan liase ammonia L-aspartat terimmobilisasi (aspasrtase) yang dipreparasi oleh penjeratan sel Eschericia coli pada k-karagenan. Pada tahun 1988, hampir dari 1000 metrik ton L-aspartat telah diproduksi. Produksi L-aspartat dari ammonium fumarat menggunakan dua biokatalisator dengan preparasi immobilisasi sel yang berbeda telah sukses dikomersialkan pada tahun 1983 di Jepang oleh Tanabe Seiyaku. Bioreaktor pertama mengandung sel E. Coli diberi pH yang dapat mengaktivasi alanin rasemase dan aktivitas fumarase dan dijaerat dalam karagenan dan bioreaktor kedua mengandung pH yang sesuai dan glutaraldehid yang di ikat silang dengan Pseudomonas dacunhai yang juga dijerat dengan karagenan. Dengan demikian, pada bioreaktor pertama terdapat aktivitas aspartat saat bioreaktor kedua terdapat aktivitas L-aspartat β dekarboksilase. Bioproses tersebut mewakili industrial pertama yang menggunakan rangkaian bioreaktor.

















V.                KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
  1. Enzim adalah molekul protein yang dihasilkan oleh setiap sel hidup.
  2. Immobilisasi enzim dan sel digunakan untuk mengatasi enzim yang sangat mahal dan sulit untuk diproduksi.
  3. Metode rekayasa genetic dikombinasikan dengan metode immobilisasi dengan menggunakan permukaan sel sebagai pembawa immobilisasi enzim dapat menjadi solusi dalam masalah yang dihadapi pada metode immobilisasi konvensional.
  4. Sel khamir digunakan karena mudah diproduksi dan aman untuk makanan.





















DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2008. Cell and Enzim Immobilize. www.aseanbiotechnology . diakses
tanggal 11 Maret 2008

Sumanti, Debby., Tita Rialita. 2006. Bahan Ajar Teknologi Fermentasi. UNPAD.
Jatinangor

Sumarsih, S. 2007. PTP 2007. www.wordpress.com . diakses tanggal 11 Maret
2008

Ueda, Mitsuyoshi., Toshiyuki Murai, Atsuo Tanaka.             . Handbook of
Enzimology. Kyoto University. Jepang
































Fermentasi Karbohidrat

FERMENTASI KARBOHIDRAT ADALAH
Kemampuan memfermantasikan karbohidrat dan produk fermentasi yang dihasilkan merupakan ciri yang sangat berguan dalam identifikasi mikroorganisme
Hasil akhir fermentasi karbohidrat ditentukan oleh sifat mikroba, media biakan yang digunakan, serta faktor lingkungan, antara lain suhu dan pH. Media fermentasi harus mengandung senyawa yang dapat dioksidasikan dan difermentasikan oleh mikroorganisme. Glukosa termasuk senyawa yang paling sering digunakan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi itu
Untuk menentukan adanya fermentasi, dilaboratorium digunakan media kaldu karbohidrat dan media MR-VP. Pembentukan asam dapat diketahui dengan menambahakan indikator kedalam media
Kaldu karbohidrat digunakan untuk uji penbentukan asam dan gas. Pembentukan gas dapat ditentukan dengan menggunakan tabung Smith atau tabung Durham. Tabung smith digunakan bila jumlah dan macam gas yang dihasilkan harus ditentukan. Sedangkan tabung durham digunakan bila tidak perlu diketahui macam dan jumlah gas yang dihasilkan. Tidak terbentuk gas, maka gas masuk kedalam tabung Durham dan mendesak cairan dalam tabung ini ; gas ini terlihat sebagai gelembung udara yang terperangkap dalam tabung Durham
Kaldu karbohidrat mengandung 0.5 – 1 % karbohidrat. Karbohidrat yang sering dipakai adalah glukosa, laktosa, maltosa, sukrosa, dan manitol. Selain karbohidrat kedalam media ditambahkan juga beef ekstract dan pepton sebagai sumber nitrogen, vitamin dan mineral. Untuk mengetahui pembentukan asam, kedalam media ditambahkan indikator. Bila dalam proses fermentasi, bakteri ditumbuhkan dengan biakan cair yang mengandung glukosa, maka hasil proses fermentasi dapat berupa asam. Asam yang dihasilkan akan menurunkan pH media biakan. Indikator yang sering digunakan adalah fenol merah dan bromcresol-purple. Billa dalam media biakan ditambahakan indikator pH seperti misalnya bromcresol-purple atau fenol merah, maka pembentukan asam ini ditandai oleh perubahan warna menjadi kuning. Pada pH lebih dari 7.0 fenol merah berwarna merah sedangkan bromcresol-purple berwarna ungu.

PEMBUATAN TAPAI 
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi yang mengasilkan asam laktat sebagai produk sampingannya. Akumulasi asam laktat inilah yang berperan dalam menyebabkan rasa kelelahan pada otot.
Dalam pembuatan tapai ketan, beras ketan perlu dimasak dan dikukus terlebih dahulu sebelum dibubuhi ragi[2]. Campuran tersebut ditutup dengan daun dan diinkubasi pada suhu 25-30 °C selama 2-4 hari sehingga menghasilkan alkohol dan teksturnya lebih lembut[2].
Untuk membuat tapai singkong, kulit singkong harus dibuang terlebih dahulu[1]. Singkong dicuci lalu dikukus dan ditempatkan pada keranjang bambu yang dilapisi daun pisang[1]. Ragi disebar pada singkong dan lapisan daun pisang yang digunakan sebagai alas dan penutup[1]. Keranjang tersebut kemudian diperam pada suhu 28 – 30 °C selama 2 – 3 hari[1].
Selain rasanya yang manis dan aroma yang memikat, tapai juga dibuat dengan beberapa warna berbeda.[1] Warna tersebut tidak berasal dari pewarna buatan yang berbahaya, melainkan berasal dari pewarna alami.[1] Untuk membuat tapai ketan berwarna merah, digunakan angkak, pigmen yang dihasilkan oleh Monascus purpureus. Sedangkan tapai ketan warna hijau dibuat menggunakan ekstrak daun pandan. [1]
Pembuatan tapai memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong atau ketan dapat menjadi lunak karena proses fermentasi yang berlangsung dengan baik[2]. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk membuat tapai. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika dipakai untuk mengolah bahan tapai bisa menyebabkan kegagalan fermentasi.[2] Air yang digunakan juga harus bersih[1]; menggunakan air hujan bisa mengakibatkan tapai tidak berhasil dibuat.

] Keunggulan tapai

Fermentasi tapai dapat meningkatkan kandungan Vitamin B1 (tiamina) hingga tiga kali lipat[3]. Vitamin ini diperlukan oleh sistem saraf, sel otot, dan sistem pencernaan agar dapat berfungsi dengan baik. [3] Karena mengandung berbagai macam bakteri “baik” yang aman dikonsumsi, tapai dapat digolongkan sebagai sumber probiotik bagi tubuh.[4] Cairan tapai dan tapai ketan diketahui mengandung bakteri asam laktat sebanyak ± satu juta per mililiter atau gramnya.[4] Produk fermentasi ini diyakini dapat memberikan efek menyehatkan tubuh, terutama sistem pencernaan, karena meningkatkan jumlah bakteri dalam tubuh dan mengurangi jumlah bakteri jahat.[4] Kelebihan lain dari tapai adalah kemampuannya tapai mengikat dan mengeluarkan aflatoksin dari tubuh.[4] Aflaktosin merupakan zat toksik atau racun yang dihasilkan oleh kapang, terutama Aspergillus flavus[4]. Toksik ini banyak kita jumpai dalam kebutuhan pangan sehari-hari, seperti kecap. Konsumsi tapai dalam batas normal diharapkan dapat mereduksi aflatoksin tersebut.[4] Di beberapa negara tropis yang mengonsumsi singkong sebagai karbohidrat utama, penduduknya rentan menderita anemia[4]. Hal ini dikarenakan singkong mengandung sianida yang bersifat toksik dalam tubuh manusia.[4]. Konsumsi tapai dapat mencegah terjadinya anemia karena mikroorganisme yang berperan dalam fermentasinya mampu menghasilkan vitamin B12[5]

Kelemahan tapai

Konsumsi tapai yang berlebihan dapat menimbulkan infeksi pada darah dan gangguan sistem pencernaan. Selain itu, beberapa jenis bakteri yang digunakan dalam pembuatan tapai berpotensi menyebabkan penyakit pada orang-orang dengan sistem imun yang terlalu lemah seperti anak-anak balita, kaum lanjut usia, atau penderita HIV3. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, konsumsi tapai perlu dilakukan secara terkendali dan pembuatannya serta penyimpanannya pun dilakukan dengan higienis.[2]

Istilah tapai di berbagai daerah

Sebagian besar tapai yang ada di Indonesia dibuat dari fermentasi beras ketan (Oryza sativa glutinosa) atau singkong (Manihot esculenta). Masyarakat Jawa Barat lebih mengenal tapai singkong dengan sebutan peuyeum, sedangkan masyarakat Jawa Timur lebih sering menyebutnya tape telo.[2] Tapai juga dikenal di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Makanan ini memiliki nama lokal yang berbeda–beda di setiap negara; contohnya tapai pulut (Malaysia), basi binubran (Filipina), chao (Kamboja), lao-chao atau chiu niang (Cina), dan khao-mak (Thailand).[1]

Produk olahan tapai

Selain dapat dikonsumsi secara langsung, tapai dapat dijadikan olahan lain atau dicampur dengan makanan dan minuman lainnya. Contohnya: tapai pulut untuk campuran cendol dan es campur, atau dapat juga diolah kembali menjadi wajik dan dodol. Sedangkan tapai singkong selain bisa dijadikan campuran cendol, es campur atau es doger, dapat pula diolah menjadi makanan gorengan rondo royal (tapai goreng), colenak, dll. Tape juga nikmat disantap bersama tetel (istilah jawa untuk ulenan ketan putih) atau di Sunda biasa disebut ulen.